Minggu, 06 Maret 2016

Dunia anak dunia bermain

Hakikat Bermain dan Aspek Perkembangan Anak Usia Dini
Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak (Sudono, 2000: hal.1).
Setiap anak di dunia ini memiliki hak untuk bermain. Bermain juga adalah juga kegiatan pokok anak. Dengan bermain anak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang membantu perkembangannya. Para ahli pendidikan mengganggap bahwa bermain sebagai kegiatan yang memiliki nilai praktis, artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak terutama enam aspek perkembangan anak yaitu fisik-motoriknya, kognitif, bahasa, sosial-emosi, moral-agama dan seni yang kesemuanya  dapat berkembang secara optimal dan seimbang.
Bermain atau permainan sebagai aktivitas terkait dengan keseluruhan diri anak, melalui bermain anak  akan terdorong mempraktekan keterampilannya yang mengarahkan perkembangan kognitif, bahasa, psikomotorik dan perkembangan fisik anak. Pengalaman bermain mendorong anak untuk lebih kreatif. Mulai dari perkembangan emosi, kemudian mengarah ke kreativitas bersosialisasi.
Ada beberapa prinsip permainan berdasarkan perilaku anak, yaitu antara lain: permainan adalah sesuatu yang menyenangkan, di luar dari peristiwa sehari-hari. Permainan adalah sarana bereksperimen dalam berbagai hal, terbuka tanpa batas. Permainan adalah sesuatu yang aktif dan dinamis, tidak statis sehingga tidak terbatas ruang dan waktu. Permainan juga berlaku bagi setiap anak di sepanjang zaman, memiliki konteks hubungan sosial dan spontan, bermain juga sebagai sarana komunikasi dengan teman sebaya dan lingkungan.

Fungsi Bermain
 Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak (Sudono, 2000: hal.1). Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa, karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka terhadap perkembangan anak. Bermain merupakan suatu aspek yang sangat penting bagi anak usia dini. Dalam aspek perkembangannya. Melalui bermain anak dapat memahami lingkungan sekitarnya dengan baik. Teori-teori modern yang mengkaji tentang bermain tidak hanya menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain. Para tokoh juga berusaha untuk menjelaskan manfaat bermain bagi perkembangan anak. Seorang ahli psikologi Freud memandang bermain sama seperti fantasi atau lamunan. Melalui bermain ataupun fantasi, seseorang dapat memproyeksikan harapan‑harapan maupun konflik pribadi. Dengan demikian Freud percaya bahwa bermain memegang peran penting dalam perkembangan emosi anak. Anak dapat mengeluarkan semua perasaan negatif, seperti pengalaman yang tidak menyenangkan/traumatik dan harapan­-harapan yang tidak terwujud dalam realita melalui bermain.
Melalui bermain anak dapat mengambil peran aktif sebagai pemasaran dan memindahkan perasaan negatif ke objek/orang pengganti. Sebagai contoh, setelah mendapat hukuman fisik dari guru, anak dapat menyalurkan perasaan. marahnya dengan bermain pura‑pura memukul boneka. Dengan mengulang‑ulang pengalaman negatif melalui bermain, menyebabkan anakk dapat mengatasi kejadian yang tidak menyenangkan karena anak dapat membagi pengalaman tersebut ke dalarn bagian‑bagian kecil yang dapat dikuasainya. Secara perlahan. dia dapat mengasimilasi emosi­, emosi negatif berkenaan dengan pengalamannya sehingga timbul perasaan lega. Dalam hal. ini Freud tidak mengemukakan pengertian bermain, tetapi memandang bermain sebagai cara yang digunakan anak untuk mengatasi masalahnya. Pandangan Freud tentang bermain akhimya memberi ilham pada para ahli ilmu jiwa untuk memanfaatkan bermain sebagai alat diagnosa terhadap masalah anak ataupun sarana 'mengobati' jiwa anak yang dimanifestasikan. Bermain merupakan salah satu kegiatan yang memiliki banyak manfaat bagi anak maka dari itu memberikan bermain bagi anak

 Jenis-jenis bermain
Ada 3 macam jenis permainan yaitu main sensorimotor, main pembangunan, dan main peran. Bermain peran juga disebut bermain simbolik atau bermain pura-pura, role play, make belive, fantasi, imajinasi dan bermain drama.
1 Bermain pura‑pura (Make‑believe Play).
Kegiatan bermain pura‑pura mulai banyak dilakukan anak usia 3‑7 tahun. Dalam bermain pura‑pura anak menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-­hari. Dapat juga anak melakukan peran imajinatif memainkan peran tokoh yang dikenalnya melalui film kartun atau dongeng. Misalnya: main rumah‑rumahan, polisi dan penjahat, jadi batman atau ksatria baja hitam atau jadi putri elsa. Bermain peran sendiri dapat dibagi menjadi bermain peran mikro dan bermain peran makro yang mana keduanya dapat dilakukan anak dengan main sendiri (Solitary Play) atau dengan berkelompok atau bekerja sama dengan temannya.
a.    Solitary Play (Bermain Sendiri)
Solitary Play (bermain sendiri) biasanya tampak pada anak yang berusia amat muda. Anak sibuk bermain sendiri, dan tampaknya memperhatikan kehadiran anak‑anak lain di sekitarnya. Perilakunya yang bersifat egosentris dengan ciri antara lain tidak ada usaha untuk berinteraksi dengan anak lain, mencerminkan sikap memusatkan perhatian pada diri sendiri dan kegiatannya sendiri. Anak lain baru dirasakan kehadirannya apabila misalnya, anak tersebut mengambil alat permainannya.
b.   Cooperative Play (Bermain bersama)
Cooperative Play atau bermain bersama; ditandai dengan adanya kerja sama atau pembagian tugas dan pembagian peran antara anak-anak yang terlibat dalam permainan untuk mencapai satu tujuan ter­tentu. Misalnya, bermain naik bis-bisan maka anak akan membagi tugas siapa yang akan menjadi sopirnya, penumpangnya dan siapa kerneknya semacam itu, bekerja sama membuat karya bangunan dari balok‑balok dan semacamnya.
Kegiatan bermain ini umumnya sudah tampak pada anak berusia 5 tahun, namun demikian perkembangannya tergantung pada latar belakang orang tua, sejauh mana mereka memberi kesempatan dan dorongan agar anak mau bergaul dengan sesama teman. Bila orang tua kurang atau tidak memberi kesempatan bagi anak‑anaknya untuk bergaul dengan anak lain, maka mungkin saja Cooperative play tidak terlaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar