Hakikat
Bermain dan Aspek Perkembangan Anak Usia Dini
Bermain
adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang
menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun
mengembangkan imajinasi pada anak (Sudono, 2000: hal.1).
Setiap anak di dunia
ini memiliki hak untuk bermain. Bermain juga adalah juga kegiatan pokok anak.
Dengan bermain anak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang membantu
perkembangannya. Para ahli pendidikan mengganggap bahwa bermain sebagai
kegiatan yang memiliki nilai praktis, artinya bermain digunakan sebagai media
untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak terutama enam
aspek perkembangan anak yaitu fisik-motoriknya, kognitif, bahasa, sosial-emosi,
moral-agama dan seni yang kesemuanya
dapat berkembang secara optimal dan seimbang.
Bermain atau permainan
sebagai aktivitas terkait dengan keseluruhan diri anak, melalui bermain
anak akan terdorong mempraktekan
keterampilannya yang mengarahkan perkembangan kognitif, bahasa, psikomotorik
dan perkembangan fisik anak. Pengalaman bermain mendorong anak untuk lebih
kreatif. Mulai dari perkembangan emosi, kemudian mengarah ke kreativitas
bersosialisasi.
Ada beberapa prinsip
permainan berdasarkan perilaku anak, yaitu antara lain: permainan adalah
sesuatu yang menyenangkan, di luar dari peristiwa sehari-hari. Permainan adalah
sarana bereksperimen dalam berbagai hal, terbuka tanpa batas. Permainan adalah
sesuatu yang aktif dan dinamis, tidak statis sehingga tidak terbatas ruang dan
waktu. Permainan juga berlaku bagi setiap anak di sepanjang zaman, memiliki
konteks hubungan sosial dan spontan, bermain juga sebagai sarana komunikasi
dengan teman sebaya dan lingkungan.
Fungsi Bermain
Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan
dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau
memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada
anak (Sudono, 2000: hal.1). Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para
ahli ilmu jiwa, karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan
anak dan kurangnya perhatian mereka terhadap perkembangan anak. Bermain
merupakan suatu aspek yang sangat penting bagi anak usia dini. Dalam aspek perkembangannya.
Melalui bermain anak dapat memahami lingkungan sekitarnya dengan baik. Teori-teori modern yang mengkaji tentang
bermain tidak hanya menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain. Para tokoh
juga berusaha untuk menjelaskan manfaat bermain bagi perkembangan anak. Seorang
ahli psikologi Freud memandang bermain sama seperti fantasi atau lamunan. Melalui bermain
ataupun fantasi, seseorang dapat memproyeksikan harapan‑harapan maupun konflik
pribadi. Dengan demikian Freud percaya bahwa bermain memegang peran penting
dalam perkembangan emosi anak. Anak dapat mengeluarkan semua perasaan negatif,
seperti pengalaman yang tidak menyenangkan/traumatik dan harapan-harapan yang
tidak terwujud dalam realita melalui bermain.
Melalui bermain anak dapat mengambil peran aktif sebagai
pemasaran dan memindahkan perasaan negatif ke objek/orang pengganti. Sebagai
contoh, setelah mendapat hukuman fisik dari guru, anak dapat menyalurkan
perasaan. marahnya dengan bermain pura‑pura memukul boneka. Dengan mengulang‑ulang
pengalaman negatif melalui bermain, menyebabkan anakk dapat mengatasi kejadian
yang tidak menyenangkan karena anak dapat membagi pengalaman tersebut ke dalarn
bagian‑bagian kecil yang dapat dikuasainya. Secara perlahan. dia dapat
mengasimilasi emosi, emosi negatif berkenaan dengan pengalamannya sehingga
timbul perasaan lega. Dalam hal. ini Freud tidak mengemukakan pengertian
bermain, tetapi memandang bermain sebagai cara yang digunakan anak untuk
mengatasi masalahnya. Pandangan Freud tentang bermain akhimya memberi ilham
pada para ahli ilmu jiwa untuk memanfaatkan bermain sebagai alat diagnosa
terhadap masalah anak ataupun sarana 'mengobati' jiwa anak yang
dimanifestasikan. Bermain merupakan salah satu kegiatan yang memiliki banyak
manfaat bagi anak maka dari itu memberikan bermain bagi anak
Jenis-jenis bermain
Ada 3 macam jenis permainan yaitu
main sensorimotor, main pembangunan, dan main peran. Bermain peran juga disebut
bermain simbolik atau bermain pura-pura, role
play, make belive, fantasi, imajinasi dan bermain drama.
1 Bermain pura‑pura (Make‑believe Play).
Kegiatan bermain pura‑pura mulai banyak dilakukan anak usia 3‑7 tahun. Dalam bermain pura‑pura anak menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Dapat juga anak melakukan peran imajinatif memainkan peran tokoh yang dikenalnya melalui film kartun atau dongeng. Misalnya: main rumah‑rumahan, polisi dan penjahat, jadi batman atau ksatria baja hitam atau jadi putri elsa. Bermain peran
sendiri dapat dibagi menjadi bermain peran mikro dan bermain peran makro yang
mana keduanya dapat dilakukan anak dengan main sendiri (Solitary Play) atau dengan berkelompok atau bekerja sama dengan
temannya.
a.
Solitary Play (Bermain Sendiri)
Solitary Play (bermain sendiri) biasanya tampak pada anak
yang berusia amat muda. Anak sibuk bermain sendiri, dan tampaknya memperhatikan
kehadiran anak‑anak lain di sekitarnya. Perilakunya yang bersifat egosentris
dengan ciri antara lain tidak ada usaha untuk berinteraksi dengan anak lain,
mencerminkan sikap memusatkan perhatian pada diri sendiri dan kegiatannya
sendiri. Anak lain baru dirasakan kehadirannya apabila misalnya, anak tersebut
mengambil alat permainannya.
b.
Cooperative Play (Bermain bersama)
Cooperative Play atau bermain bersama; ditandai dengan adanya
kerja sama atau pembagian tugas dan pembagian peran antara
anak-anak yang terlibat dalam permainan untuk mencapai satu tujuan tertentu.
Misalnya, bermain naik bis-bisan
maka anak akan membagi tugas siapa yang akan menjadi sopirnya, penumpangnya dan
siapa kerneknya semacam itu, bekerja sama membuat karya bangunan dari balok‑balok
dan semacamnya.
Kegiatan bermain ini umumnya sudah tampak pada
anak berusia 5 tahun, namun demikian perkembangannya tergantung pada latar
belakang orang tua, sejauh mana mereka memberi kesempatan dan dorongan agar
anak mau bergaul dengan sesama teman. Bila orang tua kurang atau tidak memberi
kesempatan bagi anak‑anaknya untuk bergaul dengan anak lain, maka mungkin saja Cooperative play tidak terlaksana.